Langsung ke konten utama

makalah demokrasi



DEMOKRASI
TEORI dan PRAKTEK
Dosen Pembimbing :
M. Hasib, SH., MH.,

10421633_916672578350785_2864316286318250077_n.jpg

KELOMPOK 1 :
1.     Ulfa Nur Hidayah
2.     Ummi Istikromah
3.     Ela Norma Ulayana Dewi
4.     Hafifah Maharany
5.     Siti Maratus Sholikah

IAIN TULUNGAGUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
TADRIS BAHASA INGGRIS I-B
OKTOBER 2015

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……..……………………………………………………1
DAFTAR ANGGOTA……..……………………………………………….....1
KATA PENGANTAR……...………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...3
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG…………………………………………………4
B.     RUMUSAN MASALAH……………………………………………...4
C.     TUJUAN PEMBAHASAN………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN
A.  HAKIKAT DEMOKRASI……………………………………………5
B.  TEORI-TEORI DEMOKRASI……………………………………….7
C.  PRAKTIK DEMOKRASI…………………………………………….12
BAB III PENUTUP
A.  SIMPULAN…………………………………………………………...21
B.  SARAN………………………………………………………………..21
DAFTAR PUSTAKA










KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “DEMOKRASI”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak sejak awal hingga akhir penulisannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, sangatlah tidak berlebihan jika tim penulis memberikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1.      M. Hasib, SH., MH., selaku dosen pembimbing Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
2.      Rekan-rekan mahasiswa Tadris Bahasa Inggris (1B) yang selalu memberikan motivasi kepada penyusun.
Semoga segenap bantuan para pihak tersebut menjadi amal yang baik dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyusunan makalah ini . Akhirnya, besar harapan kami agar makalah ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya seluruh mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Tulungagung.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.




Tulungagung, 13  Oktober 2015



                                                                   Penulis




           
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
“Demokrasi” saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi perbincangan berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat kelas bawah sampai masyarakat kelas elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan, tokoh masyarakat, aktivis lembaga swadaya masyarakat, cendekiawan, mahasiswa, dan kaum profesional lainnya. Pada berbagai kesempatan mulai dari obrolan warung kopi sampai dalam forum ilmiah seperti seminar, diskusi publik dan sebagainya. Wacana tentang “demokrasi” seringkali dikaitkan dengan berbagai persoalan, seperti “Islam dan Demokrasi”, “Politik dan Demokrasi”, “Pendidikan dan Demokrasi” dan tema lainnya. Oleh karena itu, demokrasi menjadi alternatif sistem nilai dalam berbagai lapangan kehidupan manusia, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam pembuatan makalah ini penulis mengambil judul “DEMOKRASI” agar masyarakat Indonesia semakin menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa hakikat demokrasi?
2.      Apa saja teori-teori demokrasi di Indonesia?
3.       Bagaimana praktik demokrasi di Indonesia?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui hakikat demokrasi.
2.      Mengetahui teori-teori demokrasi di Indonesia.
3.      Mengetahui praktik demokrasi di Indonesia.





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakikat Demokrasi
Secara etimologis “demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan rakyat.
·         Menurut Joseft A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
·         Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat biasa.
·         Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan  dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian demokrasi yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau mewakilinya melalui lembaga perwakilan. Oleh karena itu, negara yang diselenggarakan berdasar kehendak dan kemauan rakyat mayoritas dan juga tidak mengesampingkan kaum minoritas.
Kekuasaan pemerintahan di tangan rakyat, menurut Moh. Mahfud MD mengandung tiga hal penting. Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people). Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by people). Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for people).
  • Pemerintahan dari rakyat (government of the people)
Berhubungan erat dengan legitimasi pemerintahan (legitimate government) dan tidak legitimasi pemerintahan (unlegitimate government) di mata rakyat. Pemerintahan legitimasi berarti suatu pemerintahan berkuasa mendapat pengakuan dan dukungan rakyat. Sebaliknya pemerintahan tidak legitimasi berarti suatu pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintah dapat menjalankan roda dan program pemerintahan seperti pembangunan dan pelayanan sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Selanjutnya, pemerintahan dari rakyat memberikan gambaran bahwa pemerintah yang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya bahwa kekuasaan pemerintah diperoleh melalui hasil pemilihan dari rakyat bukan pemberian dari wangsit atau dari kekuasaan supra natural. Karena itu, pemerintah harus mendengar kehendak dan keinginan rakyat, bukan memaksa rakyat untuk memahami dan mengikuti kehendak pemerintah.

o   Pemerintahan oleh rakyat (government by the people)

Berarti pemerintahan yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan pengawasannya dijalankan oleh rakyat bukan oleh siapa-siapa atau lembaga pengawasan  yang ditunjuk pemerintah. Pemerintahan Orde lama dan Orde baru telah terjadi distorsi yang luar biasa. Pemerintah Orde Lama telah menempatkan dirinya sebagai penguasa tunggal, sementara rakyat dipaksa untuk tunduk dan patuh kepadanya. Begitu pula terjadi pada Orde Baru sebagai pemerintahan yang dipilih rakyat, namun pemerintahan tidak menjalankan tugas untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan penguasa dan kroninya. Juga rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap pemerintah Orde Baru karena sistemnya yang represif dan mengedepankan aspek stabilitas keamanan dengan security approachnya. Padahal dalam teori demokrasi pemerintah harus tunduk kepada pengawasan rakyat (Social Control) bukan negara mengawasi rakyat. Selama Orde Baru terjadi sebaliknya, yaitu yang dominan bukan rakyat mengontrol (social control) terhadap negara tetapi negara mengontrol masyarakat (State Control Society). Dengan kata lain oleh Orde Baru, persoalan dibalik sedemikian rupa, 180 derajat, yang seharusnya masyarakat mengawasi pemerintahan Soeharto, tetapi yang terjadi justru pemerintahan Soeharto yang mengawasi masyarakat (yang terjadi bukan Social Control Over State, tetapi State Control Society). Karena itu pemerintahn Orde Baru Soeharto dikenal dengan sebutan rezim pemerintahan otoriter.


o   Pemerintahan untuk rakyat (government for people)

Suatu pemerintahan yang mendapat mandat kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dipergunakan untuk apa? Apakah untuk membeli sembako rakyat, memberikan pelayanan pendidikan rakyat, atau untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya melalui korupsi? Artinya, pemerintahan takluk apa tidak kepada apa yang diinginkan rakyat, misalnya untuk membawa Soeharto kepersidangan dalam kasus korupsi, melakukan pengadilan terhadap pelanggar HAM baik oleh sipil atau militer, menegakkan supremasi hukum dan kehendak rakyat lainnya. Bila pemerintahan menjalankan apa yang menjadi aspirasi rakyat, berarti Government for The People telah terwujud. Sebaliknya bila pemerintahan tidak menjalankan aspirasi rakyat tetapi menjalankan kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan sendiri atau kepentingan kelompok penguasa  dan kroninya, berarti telah terbentuk pemerintahan korup dengan berbagai modus operandinya. Dengan kata lain, pemerintahan yang tidak korup untuk rakyat adalah pemerintahan korup. Korupsi bukan hanya orang yang mengambil uang, tetapi bisa juga berupa perubahan etos kerja, kurang maksimalnya jasa pelayanan kepada rakyat dan sebagainya.

B.     Teori-Teori Demokrasi

Ada beberapa teori-teori demokrasi yaitu :

1)      Teori Demokrasi Klasik
Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan kenegaraan.
Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.
Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.


2)      Teori Civic Virtue
Pericles adalah negarawan Athena yang berjasa mengembangkan demokrasi. Prinsip-prinsip pokok demokrasi yang dikembangkannya adalah:
    1. Kesetaraan warga negara
    2. Kemerdekaan
    3. Penghormatan terhadap hukum dan keadilan
    4. Kebajikan bersama
Prinsip kebajikan bersama menuntut setiap warga negara untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan kepentingan republik dan kepentingan bersama diatas kepentingan diri dan keluarga.
Di masa Pericles dimulai penerapan demokrasi langsung (direct democrazy). Model demokrasi ini bisa diterapkan karena jumlah penduduk negara kota masih terbatas, kurang dari 300.000 jiwa, wilayah nya kecil, struktur sosialnya masih sederhana dan mereka terlibat langsung dalam proses kenegaraan.

3)      Teori Social Contract
Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Zaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Zaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam praksinya.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati.
Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu dengan lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil.
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought).

4)      Teori trias politica   
Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut.
a.       Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b.      Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c.       Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.
Teori inilah yang sekarang dianut oleh Negara Indonesia namun, dengan landasan yang berbeda dari negara lainnya. Landasan demokrasi di Indonesia, yaitu :

a.         Pembukaan UUD 1945
1.        Alinea pertama
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.
2.        Alinea kedua
Mengantarkan rakyat Indonesia kepintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
3.        Alinea ketiga
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan dan kebangsaaan yang bebas.
4.        Alinea keempat
Melindungi segenap bangsa.

b.        Batang Tubuh UUD 1945
1.        Pasal 1 ayat 2
Kedaulatan adalah ditangan rakyat.
2.        Pasal 2
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3.        Pasal 6
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
4.        Pasal 24 dan Pasal 25
Peradilan yang merdeka.
5.        Pasal 27 ayat 1
Persamaan kedudukan di dalam hukum.

6.        Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul.

c.         Lain-lain
1.        Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi
2.        UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM

C.    PRAKTIK DEMOKRASI

1.      Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia
Seperti sebelumnya disinggung bahwa PEMILU merupakan sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat. Negara Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat, sebagaimana muaranya berangkat dari Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyebutkan bahwa, “maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat’. Kemudian pengakuan akan konsep kedaulatan di Indonesia tersebut diteruskan Pasal 2 ayat (1) Amandemen ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selanjutnya pesan kedaulatan rakyat yang terkandung pada Alinea keempat dan Pasal 2 ayat (1) Amandemen ketiga UUD 1945 tersebut ditangkap oleh Pasal 22E Amandemen ketiga UUD 1945 dalam wujud Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa :
§  Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali
§  Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
§  Peserta pemiihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
§  Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
§  Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
§  Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Adapun untuk pengaturan lebih lanjut secara teknisinya pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam wujud pemilihan umum saat ini diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

1.    Pemilihan Umum untuk Memilih Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam sitem proporsional terbuka pemiih akan memilih satu partai dan juga dapat memilih satu calon anggota legislatif (caleg) yang terdapat dalam daftar calon partai. Pilihan para pemilih terhadap seorang caleg hanya merupakan cara untuk menentukan caleg mana dari daftar calon partai yang akan duduk di kursi yang dimenangkan oleh partai. Namun caleg yang akan duduk di kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut harus mendapatkan suara yang paling tidak sama dengan kuota yang digunakan untuk menentukan berapa jumlah kuris yang didapatkan oeh setiap partai dalam daerah pemilihan. Tujuan dari pelaksanaan sistem proporsional terbuka ini adalah untuk menghasilkan lembaga perwakilan dimana proporsi kursi yang dimenangkan oleh tiap parpol mencerminkan proporsi total suara yang didapatkan setiap parpol.
Adapun untuk junlah kursi anggota DPR sebagaimana ditetapkan Pasal 21 UU No. 10 Tahun 2008 adalah sebanyak 560 (lima ratus enam puluh). Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi yang jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi yang ketetapan rincinya terdapat pada lampiran UU No. 10 Tahun 2008.
Sementara untuk jumlah kursi anggota DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 100 (seratus) kursi (Pasal 23 ayat (1) UU No. 10 tahun 2008). Penentuan jumlah kursi untuk setiap provinsi ini ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk yang bersangkutan dengan rincian sebagai berikut :
o   Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan satu juta jiwa memperoleh alokasi tiga puluh lima kursi.
o   Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta sampai dengan tiga juta jiwa memperoleh alokasi empat puluh lima kursi.
o   Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari tiga juta sampai dengan lima juta jiwa memperoleh alokasi lima puluh lima kursi.
o   Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari lima juta sampai dengan tujuh juta jiwa memperoleh alokasi enam puluh lima kursi.
o   Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari tujuh juta sampai dengan sembilan juta jiwa memperoleh alokasi tujuh puluh lima kursi.
o   Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari sembilan juta sampai dengan sebelas juta jiwa memperoleh alokasi delapan puluh lima kursi.
o   Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari sebelas juta jiwa memperoleh alokasi seratus kursi (Pasal 23 ayat (2) UU. No. 10 tahun 2008).
Untuk jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 (dua puluh) dan paling banyak 50 (lima puluh) kursi. Penentuan untuk jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ini juga didasarkan atas jumlah penduduk yang bersangkutan dengan rincian sebagai berikut :
*      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan seratus ribu jiwa memperoleh alokasi dua puluh kursi.
*      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari seratus ribu sampai dengan dua ratus ribu jiwa memperoleh alokasi dua puluh lima kursi.
*      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari dua ratus ribu sampai dengan tiga ratus ribu jiwa memperoleh alokasi tiga puluh kursi.
*      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari tiga ratus ribu sampai dengan empat ratus ribu jiwa memperoleh alokasi tiga puluh lima kursi.
*      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari empat ratus ribu sampai dengan lima ratus ribu jiwa memperoleh alokasi empat puluh kursi.
*      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari lima ratus ribu sampai dengan satu juta jiwa memperoleh alokasi empat puluh lima kursi.
*      Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa memperoleh alokasi lima puluh kursi (Pasal 26 ayat (2) UU. No. 10 Tahun 2008).
Terhadap keberadaan partai politik sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus telah lulus verifikasi dengan memenuhi persyaratan :
§  Berstatus badan hukum sesuai dengan UU tentang Partai Politik
§  Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi
§  Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
§  Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilkan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat
§  Menyertakan anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota
§  Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan dan
§  Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU (Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2008).
            Sedangkan terhadap pemilihan umum untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik. Sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 22 E ayat (4) peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Untuk jumlah kursi anggota DPD yang dialokasikan untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat) kursi (Pasal 30 UU No. 10 tahun 2008). Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi (Pasal 31 UU No. 10 tahun 2008).
Kalaupun peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan, namun harus mendapat dukungan minimal dari daerah pemilihan yang bersangkutan dengan dukungan :
·         Provinsi yang berpenduduk sampai dengan satu juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit seribu pemilih
·         Provinsi yang berpenduduk lebih dari satu juta sampai dengan lima juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit dua ribu pemilih.
·         Provinsi yang berpenduduk lebih dari lima juta sampai dengan sepuluh juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit tiga ribu pemilih.
·         Provinsi yang berpenduduk lebih dari sepuluh juta sampai dengan lima belas juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit empat ribu pemilih.
·         Provinsi yang berpenduduk lebih dari lima belas juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit lima ribu pemilih.
Dukungan-dukungan tersebut haruslah tersebar di paling sedikit lima puluh persen dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Selain itu, dukungan itu harus pula dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi dengan fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung dan seorang pendukung tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari atau orang calon anggota DPD (Pasal 13 UU No. 10 tahun 2008).
2.    Pemilihan Umum untuk Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Secara konstitusional, saat ini untuk pemilihan presiden dan wakil presiden telah dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang mana untuk pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tersebut diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1) dan (2) Amandemen ketiga UUD 1945).
Adapun untuk pengaturan lebih lanjut secara teknisnya pelaksana pemiihan umum presiden dan wakil presiden saat ini diatur oleh UU No. 42 Tahun 2008. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden ini merupakan satu rangkaian dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan setia lima tahun sekali. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah juga sebagai penyelenggara pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008, pasangan calon presiden dan wakil presiden haruslah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Waki Presiden.
Dalam hal ini pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945). Sementara dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dengan perhitungan pada (Pasal 6A ayat (3) tersebut, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden (Pasal  A ayat (4) Amandemen keempat UUD 1945).
Sementara apabila perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan pesebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secata berjenjang dan dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan pesebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang (Pasal 159 ayat (4) dan (5) UU No. 42 tahun 2008).
3.      Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
UUD 1945 setelah perubahan telah mengamanattkan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah kabupaten dan kota “dipilih secara demokratis” (Pasal 18 ayat (4) Amandemen kedua UUD 1945). Untuk pritah agar “dipilih secara demokratis” itu telah diterjemahkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah dengan ketentuan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan daerah secara langsung oleh rakyat didaerah yang bersangkutan (Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.
Pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah ini diselenggarakan oleh KPUD secara demokratis berdasarkan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon kepala daerah dajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi syarat sekurang-kurangnya lima belas persen dari jumlah kursi DPRD atau lima belas persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemiihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan (Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU No. 32 tahun 2004). Untuk Kepala Daerah dari/atau Waki Kepala daerah yang dicalonkan oleh para politik atau gabungan para politik menjadi calon kepala daerah dan atau wakil kepala daerah harus menjalani cuti di luar tanggungan negara pada saat melaksanakan kampanye (Pasal 40 PP No. 25 tahun 2007).
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari lima puluh persen jumlah suara yang ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan lima puluh persen tidak terpenuhi, pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari dua puluh lima persen dari jumlah suara yang sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Sementara dalam hal pasangan calon yang memperoleh suara terbesar dimiliki oleh lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, maka untuk penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih. luas. Sedangkan apabila tidak terdapat pasangan calon yang memenuhi dua puluh lima persen dari jumlah suara sah, maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan kedua. Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih (Pasal 95 PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Demokrasi di Indonesia telah berjalan dari waktu ke waktu. Demokrasi Indonesia telah melewati berbagai macam tahap dan telah sampai pada tingkat kedewasaan yang cukup baik, walaupun dalam faktanya demokrasi di Indonesia masih dibatasi dengan bermacam aturan tertulis maupun tidak. Demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan rakyat baik dalam penyelenggaraan Negara maupun pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
B.     Saran
Sudah sepantasnya kita sebagai negara yang berdemokrasi bisa menghargai pendapat orang lain. Kita sebagai warga Negara harus ikut menciptakan Negara yang berdemokrasi. Dan sebagai warga Negara yang baik, seharusnya kita semua menyikapi demokrasi ini dengan perbuatan yang positif, bukan menyikapinya dengan cara anarkis, money politic dan tidak bertanggung jawab. Jadi, kita harus meningkatkan kedewasaan dalam berpolitik, bertanggung jawab dan mematuhi segala aturan yang ada pada kehidupan demokrasi. Dan kita berharap Indonesia dapat menjadi Negara yang maju dan lebih baik lagi dalam segala hal.


















DAFTAR PUSTAKA

Zahraa02.blogspot.co.id/2012/05/makalah-demokrasi-teori-dan-praktek.html
Erwin, Muhamad. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Bandung:  Refika Aditama
Ubaidillah,A. 2000. Pendidikan Kewargaan. Jakarta: IAIN Jakarta Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

invitation

BAB I PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG MASALAH “INVITATION” adalah suatu undangan atau ajakan kita pada orang lain. Undangan bisa berupa undangan formal dan non formal. Adapaun isi undangan tersebut adalah nama orang yang diundang, tempat dan waktu. Jadi makalah ini berisi tentang tata cara kita mengundang orang baik formal maupun non formal. B.      RUMUSAN MASALAH 1.       Apa pengertian invitation ? 2.       Bagaimana tata cara yang benar dalam membuat sebuah undangan yang akan ditujukan kepada seseorang secara benar dan tepat ? 3.       Apa saja respon yang tepat dan benar ? C.     TUJUAN PENYUSUNAN 1.       Mengetahui tentang pengertian Invitation ( Undangan) 2.       Mengetahui tata cara yang benar dalam membuat sebuah undangan yang akan di tujukan kepada seseroang secara benar dan tepat 3.       Mengetahui respon secara tepat dan benar BAB II PEMBAHASAN A.     PENGERTIAN INVITATION Invitation (undangan) digunakan untuk meng

konstitusi

  A.     PENGERTIAN KONSTITUSI Konstitusi adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Hukum ini tidak mengatur hal-hal yang terperinci melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya. Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan kontitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara.   Adapun pengertian konstitusi menurut para ahli yaitu: a.        Usep Ranawijaya Berpendapat bahwa ada dua arti konstitusi yaitu konstitusi dalam a

KETAHANAN NASIONAL ATAU BELA NEGARA

      KETAHANAN NASIONAL ATAU BELA NEGARA MAKALAH Ditujukan Untuk Memenuhi Syarat Salah Satu Tugas Mata Kuliah “Pendidikan Kewarganegaraan” Dosen Pembimbing M. Hasib, SHI, MH. Disusun oleh: 1.       Alfi Qurroti A’yunina             (17203153018) 2.       Fina Ismatul Mu’thi                (17203153031) 3.       Fika Sari Robiatussholikah     (17203153012) 4.       Shoimatul Fikriyah                  (17203153024) KELAS B SEMESTER 1 JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG TAHUN AJARAN 2015/2016 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul  “Ketahanan Nasional Atau Bela Negara”  dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca, khususnya mahasiswa program studi Tadris Bahasa Inggris (TBI) Sholawat d