DEMOKRASI
TEORI dan PRAKTEK
Dosen Pembimbing :
M. Hasib, SH., MH.,
KELOMPOK 1 :
1.
Ulfa Nur
Hidayah
2.
Ummi Istikromah
3.
Ela Norma
Ulayana Dewi
4.
Hafifah
Maharany
5.
Siti Maratus
Sholikah
IAIN TULUNGAGUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
TADRIS BAHASA INGGRIS I-B
OKTOBER 2015
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL……..……………………………………………………1
DAFTAR
ANGGOTA……..……………………………………………….....1
KATA
PENGANTAR……...………………………………………………….2
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………...3
BAB
I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG…………………………………………………4
B.
RUMUSAN MASALAH……………………………………………...4
C.
TUJUAN
PEMBAHASAN………………………………………………………4
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT
DEMOKRASI……………………………………………5
B.
TEORI-TEORI
DEMOKRASI……………………………………….7
C.
PRAKTIK
DEMOKRASI…………………………………………….12
BAB III PENUTUP
A.
SIMPULAN…………………………………………………………...21
B.
SARAN………………………………………………………………..21
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “DEMOKRASI”.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak sejak awal hingga akhir penulisannya. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini, sangatlah tidak berlebihan jika tim penulis memberikan
rasa hormat dan terima kasih kepada :
1.
M. Hasib, SH., MH., selaku dosen
pembimbing Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan bimbingan dan
arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Rekan-rekan
mahasiswa Tadris Bahasa Inggris (1B) yang selalu memberikan motivasi kepada
penyusun.
Semoga
segenap bantuan para pihak tersebut menjadi amal yang baik dan mendapatkan
pahala dari Allah SWT. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
penyusunan makalah ini . Akhirnya, besar harapan kami agar makalah ini
bermanfaat bagi pembaca, khususnya seluruh mahasiswa Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung.
Wassalamu’alaikum Wr.
Wb.
Tulungagung, 13 Oktober 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
“Demokrasi” saat ini
merupakan kata yang senantiasa mengisi perbincangan berbagai lapisan masyarakat
mulai dari masyarakat kelas bawah sampai masyarakat kelas elit seperti kalangan
elit politik, birokrat pemerintahan, tokoh masyarakat, aktivis lembaga swadaya
masyarakat, cendekiawan, mahasiswa, dan kaum profesional lainnya. Pada berbagai
kesempatan mulai dari obrolan warung kopi sampai dalam forum ilmiah seperti
seminar, diskusi publik dan sebagainya. Wacana tentang “demokrasi” seringkali
dikaitkan dengan berbagai persoalan, seperti “Islam dan Demokrasi”, “Politik
dan Demokrasi”, “Pendidikan dan Demokrasi” dan tema lainnya. Oleh karena itu,
demokrasi menjadi alternatif sistem nilai dalam berbagai lapangan kehidupan
manusia, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara. Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka dalam pembuatan makalah ini penulis mengambil
judul “DEMOKRASI” agar masyarakat Indonesia semakin menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
hakikat demokrasi?
2. Apa
saja teori-teori demokrasi di Indonesia?
3.
Bagaimana praktik demokrasi di
Indonesia?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Mengetahui
hakikat demokrasi.
2. Mengetahui
teori-teori demokrasi di Indonesia.
3. Mengetahui
praktik demokrasi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Demokrasi
Secara etimologis
“demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos”
yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang
berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi)
adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan rakyat.
·
Menurut Joseft A. Schmeter, demokrasi
merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik
dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara
perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
·
Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah
bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara
langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat biasa.
·
Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry
Lynn Karl, demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab
atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang
bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para
wakil mereka yang telah terpilih.
Dari
pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian
demokrasi yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu
keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan
serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara
langsung oleh rakyat atau mewakilinya melalui lembaga perwakilan. Oleh karena
itu, negara yang diselenggarakan berdasar kehendak dan kemauan rakyat mayoritas
dan juga tidak mengesampingkan kaum minoritas.
Kekuasaan
pemerintahan di tangan rakyat, menurut Moh. Mahfud MD mengandung tiga hal
penting. Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people). Kedua,
pemerintahan oleh rakyat (government by people). Ketiga, pemerintahan untuk
rakyat (government for people).
- Pemerintahan dari rakyat (government of the people)
Berhubungan erat dengan
legitimasi pemerintahan (legitimate government) dan tidak legitimasi
pemerintahan (unlegitimate government) di mata rakyat. Pemerintahan legitimasi
berarti suatu pemerintahan berkuasa mendapat pengakuan dan dukungan rakyat.
Sebaliknya pemerintahan tidak legitimasi berarti suatu pemerintahan yang sedang
memegang kendali kekuasaan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut,
pemerintah dapat menjalankan roda dan program pemerintahan seperti pembangunan
dan pelayanan sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepada
pemerintah. Selanjutnya, pemerintahan dari rakyat memberikan gambaran bahwa
pemerintah yang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya bahwa kekuasaan
pemerintah diperoleh melalui hasil pemilihan dari rakyat bukan pemberian dari
wangsit atau dari kekuasaan supra natural. Karena itu, pemerintah harus
mendengar kehendak dan keinginan rakyat, bukan memaksa rakyat untuk memahami
dan mengikuti kehendak pemerintah.
o
Pemerintahan
oleh rakyat (government by the people)
Berarti pemerintahan
yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan pengawasannya dijalankan oleh
rakyat bukan oleh siapa-siapa atau lembaga pengawasan yang ditunjuk pemerintah. Pemerintahan Orde
lama dan Orde baru telah terjadi distorsi yang luar biasa. Pemerintah Orde Lama
telah menempatkan dirinya sebagai penguasa tunggal, sementara rakyat dipaksa
untuk tunduk dan patuh kepadanya. Begitu pula terjadi pada Orde Baru sebagai
pemerintahan yang dipilih rakyat, namun pemerintahan tidak menjalankan tugas untuk
kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan penguasa dan kroninya. Juga
rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap pemerintah Orde Baru karena
sistemnya yang represif dan mengedepankan aspek stabilitas keamanan dengan
security approachnya. Padahal dalam teori demokrasi pemerintah harus tunduk
kepada pengawasan rakyat (Social Control) bukan negara mengawasi rakyat. Selama
Orde Baru terjadi sebaliknya, yaitu yang dominan bukan rakyat mengontrol
(social control) terhadap negara tetapi negara mengontrol masyarakat (State
Control Society). Dengan kata lain oleh Orde Baru, persoalan dibalik sedemikian
rupa, 180 derajat, yang seharusnya masyarakat mengawasi pemerintahan Soeharto,
tetapi yang terjadi justru pemerintahan Soeharto yang mengawasi masyarakat (yang
terjadi bukan Social Control Over State, tetapi State Control Society). Karena
itu pemerintahn Orde Baru Soeharto dikenal dengan sebutan rezim pemerintahan
otoriter.
o
Pemerintahan untuk rakyat (government
for people)
Suatu pemerintahan yang
mendapat mandat kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dipergunakan untuk apa?
Apakah untuk membeli sembako rakyat, memberikan pelayanan pendidikan rakyat,
atau untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya melalui korupsi? Artinya,
pemerintahan takluk apa tidak kepada apa yang diinginkan rakyat, misalnya untuk
membawa Soeharto kepersidangan dalam kasus korupsi, melakukan pengadilan
terhadap pelanggar HAM baik oleh sipil atau militer, menegakkan supremasi hukum
dan kehendak rakyat lainnya. Bila pemerintahan menjalankan apa yang menjadi
aspirasi rakyat, berarti Government for The People telah terwujud. Sebaliknya
bila pemerintahan tidak menjalankan aspirasi rakyat tetapi menjalankan
kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan sendiri atau kepentingan kelompok
penguasa dan kroninya, berarti telah
terbentuk pemerintahan korup dengan berbagai modus operandinya. Dengan kata
lain, pemerintahan yang tidak korup untuk rakyat adalah pemerintahan korup.
Korupsi bukan hanya orang yang mengambil uang, tetapi bisa juga berupa perubahan
etos kerja, kurang maksimalnya jasa pelayanan kepada rakyat dan sebagainya.
B. Teori-Teori Demokrasi
Ada beberapa teori-teori demokrasi
yaitu :
1) Teori Demokrasi Klasik
Demokrasi,
dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu
pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul
pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan
kenegaraan.
Bentuk negara
demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a
tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara
atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara
kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles,
Polybius dan Thomas Aquino.
Plato dalam ajarannya
menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan
umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi
kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali,
rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur
sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles
sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang
sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi
dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi
yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan
Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh
rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
Prinsip dasar demokrasi klasik
adalah penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas mengatur
atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.
2) Teori Civic Virtue
Pericles adalah negarawan Athena
yang berjasa mengembangkan demokrasi. Prinsip-prinsip pokok demokrasi yang
dikembangkannya adalah:
- Kesetaraan warga negara
- Kemerdekaan
- Penghormatan terhadap hukum dan keadilan
- Kebajikan bersama
Prinsip kebajikan bersama menuntut
setiap warga negara untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan
kepentingan republik dan kepentingan bersama diatas kepentingan diri dan
keluarga.
Di masa Pericles dimulai penerapan
demokrasi langsung (direct democrazy). Model demokrasi ini bisa
diterapkan karena jumlah penduduk negara kota masih terbatas, kurang dari
300.000 jiwa, wilayah nya kecil, struktur sosialnya masih sederhana dan mereka
terlibat langsung dalam proses kenegaraan.
3) Teori Social Contract
Teori kontrak sosial berkembang dan
dipengaruhi oleh pemikiran Zaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai
dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai
pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara
jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi
kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Zaman Pencerahan
ini adalah koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan.
Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah
semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang
berkembang pada Zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan
oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang
jelas adalah bahwa pada Zaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal
kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama
berangkat dari, dan membahas tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis
politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada
anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang
bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian
kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan
itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam
praksinya.
Dalam membangun teori kontrak
sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia,
kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Hobbes menyatakan bahwa secara
kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat
atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan
mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan
kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia
adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa
hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang
tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia
berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya
masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia,
yang meningkatkan keengganan untuk mati.
Dengan demikian Hobbes menyatakan
bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas
manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman
dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak
aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu
dengan lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan
penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki
kondisi sipil.
Locke memulai dengan menyatakan
kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari
Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat
dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di
dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama
dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia
lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari
kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah
terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia
mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam
pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan
ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama,
apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi
masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah
dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga
pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang
dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum
yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk
memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena
ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan
penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk
lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh.
Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak
sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya,
akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan
masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling
kepercayaan (fiduciary trust).
Seperti halnya Hobbes dan Locke,
Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu
sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain
tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling
bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang
lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha
menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka
terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu
sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak
istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih
kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial
dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan
menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan
tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang
punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable)
dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh
kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan
keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau
mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk
dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak
bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the
quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas
kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought).
4) Teori trias
politica
Trias politica atau teori mengenai
pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan
pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang
yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan
demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit
des Louis Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar
kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa
tunggal, yaitu sebagai berikut.
a. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk
membentuk undang-undang.
b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk
menjalankan undang-undang.
c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk
mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut,
menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak
akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri.
Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan
terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan
kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah
adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.
Teori inilah yang sekarang dianut
oleh Negara Indonesia namun, dengan landasan yang berbeda dari negara lainnya.
Landasan demokrasi di Indonesia, yaitu :
a.
Pembukaan
UUD 1945
1.
Alinea
pertama
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.
2.
Alinea
kedua
Mengantarkan rakyat Indonesia
kepintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.
3.
Alinea
ketiga
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh
keinginan luhur supaya berkehidupan dan kebangsaaan yang bebas.
4.
Alinea
keempat
Melindungi segenap bangsa.
b.
Batang
Tubuh UUD 1945
1.
Pasal
1 ayat 2
Kedaulatan adalah ditangan rakyat.
2.
Pasal
2
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3.
Pasal
6
Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden.
4.
Pasal
24 dan Pasal 25
Peradilan yang merdeka.
5.
Pasal
27 ayat 1
Persamaan kedudukan di dalam hukum.
6.
Pasal
28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
c.
Lain-lain
1.
Ketetapan
MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang hak asasi
2.
UU
No. 39 tahun 1999 tentang HAM
C.
PRAKTIK
DEMOKRASI
1.
Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia
Seperti sebelumnya disinggung bahwa
PEMILU merupakan sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat. Negara Indonesia
adalah negara yang berkedaulatan rakyat, sebagaimana muaranya berangkat dari
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyebutkan bahwa, “maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat’. Kemudian pengakuan akan konsep kedaulatan di Indonesia
tersebut diteruskan Pasal 2 ayat (1) Amandemen ketiga UUD 1945 yang menyatakan
bahwa, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Selanjutnya pesan kedaulatan rakyat yang terkandung pada
Alinea keempat dan Pasal 2 ayat (1) Amandemen ketiga UUD 1945 tersebut
ditangkap oleh Pasal 22E Amandemen ketiga UUD 1945 dalam wujud Pemilihan Umum
yang menyatakan bahwa :
§ Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali
§ Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
§ Peserta pemiihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik.
§ Peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
§ Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri.
§ Ketentuan lebih
lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Adapun untuk pengaturan lebih lanjut
secara teknisinya pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam wujud pemilihan umum saat
ini diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
1.
Pemilihan Umum untuk Memilih Anggota DPR,
DPD, dan DPRD
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008, pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan
dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam sitem proporsional terbuka pemiih akan memilih satu partai
dan juga dapat memilih satu calon anggota legislatif (caleg) yang terdapat
dalam daftar calon partai. Pilihan para pemilih terhadap seorang caleg hanya
merupakan cara untuk menentukan caleg mana dari daftar calon partai yang akan
duduk di kursi yang dimenangkan oleh partai. Namun caleg yang akan duduk di
kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut harus mendapatkan suara yang paling
tidak sama dengan kuota yang digunakan untuk menentukan berapa jumlah kuris
yang didapatkan oeh setiap partai dalam daerah pemilihan. Tujuan dari pelaksanaan
sistem proporsional terbuka ini adalah untuk menghasilkan lembaga perwakilan
dimana proporsi kursi yang dimenangkan oleh tiap parpol mencerminkan proporsi
total suara yang didapatkan setiap parpol.
Adapun untuk junlah kursi anggota DPR sebagaimana ditetapkan Pasal
21 UU No. 10 Tahun 2008 adalah sebanyak 560 (lima ratus enam puluh). Daerah
pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi yang jumlah kursi
setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling
banyak 10 (sepuluh) kursi yang ketetapan rincinya terdapat pada lampiran UU No.
10 Tahun 2008.
Sementara untuk jumlah kursi anggota DPRD provinsi ditetapkan
paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan paling banyak 100 (seratus) kursi
(Pasal 23 ayat (1) UU No. 10 tahun 2008). Penentuan jumlah kursi untuk setiap
provinsi ini ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk yang bersangkutan dengan
rincian sebagai berikut :
o
Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan satu juta jiwa
memperoleh alokasi tiga puluh lima kursi.
o
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta sampai dengan
tiga juta jiwa memperoleh alokasi empat puluh lima kursi.
o
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari tiga juta sampai dengan
lima juta jiwa memperoleh alokasi lima puluh lima kursi.
o
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari lima juta sampai dengan
tujuh juta jiwa memperoleh alokasi enam puluh lima kursi.
o
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari tujuh juta sampai dengan
sembilan juta jiwa memperoleh alokasi tujuh puluh lima kursi.
o
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari sembilan juta sampai
dengan sebelas juta jiwa memperoleh alokasi delapan puluh lima kursi.
o
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari sebelas juta jiwa
memperoleh alokasi seratus kursi (Pasal 23 ayat (2) UU. No. 10 tahun 2008).
Untuk jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20
(dua puluh) dan paling banyak 50 (lima puluh) kursi. Penentuan untuk jumlah
kursi DPRD kabupaten/kota ini juga didasarkan atas jumlah penduduk yang
bersangkutan dengan rincian sebagai berikut :
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan seratus ribu
jiwa memperoleh alokasi dua puluh kursi.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari seratus ribu
sampai dengan dua ratus ribu jiwa memperoleh alokasi dua puluh lima kursi.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari dua ratus ribu
sampai dengan tiga ratus ribu jiwa memperoleh alokasi tiga puluh kursi.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari tiga ratus ribu
sampai dengan empat ratus ribu jiwa memperoleh alokasi tiga puluh lima kursi.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari empat ratus ribu
sampai dengan lima ratus ribu jiwa memperoleh alokasi empat puluh kursi.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari lima ratus ribu
sampai dengan satu juta jiwa memperoleh alokasi empat puluh lima kursi.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa
memperoleh alokasi lima puluh kursi (Pasal 26 ayat (2) UU. No. 10 Tahun 2008).
Terhadap keberadaan
partai politik sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus telah lulus verifikasi dengan memenuhi
persyaratan :
§ Berstatus badan
hukum sesuai dengan UU tentang Partai Politik
§ Memiliki
kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi
§ Memiliki
kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan
§ Menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilkan perempuan pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat
§ Menyertakan anggota
sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari
jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik yang dibuktikan dengan
kepemilikan kartu tanda anggota
§ Mempunyai kantor
tetap untuk kepengurusan dan
§ Mengajukan nama dan
tanda gambar partai politik kepada KPU (Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2008).
Sedangkan
terhadap pemilihan umum untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem
distrik. Sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 22 E ayat (4) peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Untuk jumlah kursi anggota
DPD yang dialokasikan untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat) kursi (Pasal
30 UU No. 10 tahun 2008). Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi
(Pasal 31 UU No. 10 tahun 2008).
Kalaupun peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan, namun harus mendapat dukungan minimal
dari daerah pemilihan yang bersangkutan dengan dukungan :
·
Provinsi yang berpenduduk sampai dengan satu juta orang harus
mendapatkan dukungan dari paling sedikit seribu pemilih
·
Provinsi yang berpenduduk lebih dari satu juta sampai dengan lima
juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit dua ribu pemilih.
·
Provinsi yang berpenduduk lebih dari lima juta sampai dengan
sepuluh juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit tiga ribu
pemilih.
·
Provinsi yang berpenduduk lebih dari sepuluh juta sampai dengan
lima belas juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit empat ribu
pemilih.
·
Provinsi yang berpenduduk lebih dari lima belas juta orang harus
mendapatkan dukungan dari paling sedikit lima ribu pemilih.
Dukungan-dukungan tersebut haruslah tersebar di paling sedikit lima
puluh persen dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Selain
itu, dukungan itu harus pula dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi
tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi dengan fotokopi kartu tanda
penduduk setiap pendukung dan seorang pendukung tidak dibolehkan memberikan
dukungan kepada lebih dari atau orang calon anggota DPD (Pasal 13 UU No. 10
tahun 2008).
2.
Pemilihan Umum untuk Memilih Presiden dan
Wakil Presiden
Secara
konstitusional, saat ini untuk pemilihan presiden dan wakil presiden telah
dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang mana untuk pasangan calon presiden
dan calon wakil presiden tersebut diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum (Pasal
6A ayat (1) dan (2) Amandemen ketiga UUD 1945).
Adapun
untuk pengaturan lebih lanjut secara teknisnya pelaksana pemiihan umum presiden
dan wakil presiden saat ini diatur oleh UU No. 42 Tahun 2008. Pemilihan umum
presiden dan wakil presiden ini merupakan satu rangkaian dengan pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan setia lima tahun
sekali. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah juga sebagai penyelenggara pemilihan
umum presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan
Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008, pasangan calon presiden dan wakil presiden
haruslah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima
persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan
Pemilu Presiden dan Waki Presiden.
Dalam
hal ini pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya
dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A
ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945). Sementara dalam hal tidak ada pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dengan perhitungan pada (Pasal 6A
ayat (3) tersebut, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden
(Pasal A ayat (4) Amandemen keempat UUD
1945).
Sementara
apabila perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh tiga
pasangan calon atau lebih penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan
berdasarkan pesebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secata berjenjang
dan dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh
lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan pesebaran
wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang (Pasal 159 ayat (4)
dan (5) UU No. 42 tahun 2008).
3. Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
UUD 1945 setelah
perubahan telah mengamanattkan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah kabupaten dan kota “dipilih
secara demokratis” (Pasal 18 ayat (4) Amandemen kedua UUD 1945). Untuk pritah
agar “dipilih secara demokratis” itu telah diterjemahkan oleh UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan daerah dengan ketentuan bahwa kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih dalam satu pasangan daerah secara langsung oleh rakyat
didaerah yang bersangkutan (Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.
Pemilihan Kepala
daerah dan Wakil Kepala daerah ini diselenggarakan oleh KPUD secara demokratis
berdasarkan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon
kepala daerah dajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
telah memenuhi syarat sekurang-kurangnya lima belas persen dari jumlah kursi
DPRD atau lima belas persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemiihan
Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan (Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU No.
32 tahun 2004). Untuk Kepala Daerah dari/atau Waki Kepala daerah yang
dicalonkan oleh para politik atau gabungan para politik menjadi calon kepala
daerah dan atau wakil kepala daerah harus menjalani cuti di luar tanggungan
negara pada saat melaksanakan kampanye (Pasal 40 PP No. 25 tahun 2007).
Pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari lima
puluh persen jumlah suara yang ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
Apabila ketentuan lima puluh persen tidak terpenuhi, pasangan calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari dua puluh lima
persen dari jumlah suara yang sah, pasangan calon yang perolehan suaranya
terbesar ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Sementara dalam hal
pasangan calon yang memperoleh suara terbesar dimiliki oleh lebih dari satu
pasangan calon yang perolehan suaranya sama, maka untuk penentuan calon
terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih. luas.
Sedangkan apabila tidak terdapat pasangan calon yang memenuhi dua puluh lima
persen dari jumlah suara sah, maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang
diikuti oleh pemenang pertama dan kedua. Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua ditetapkan
sebagai pasangan calon terpilih (Pasal 95 PP No. 6 Tahun 2005 Tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Demokrasi
di Indonesia telah berjalan dari waktu ke waktu. Demokrasi Indonesia telah melewati berbagai macam tahap
dan telah sampai pada tingkat kedewasaan yang cukup baik, walaupun dalam
faktanya demokrasi di Indonesia masih dibatasi dengan bermacam aturan tertulis
maupun tidak. Demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara
serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan
rakyat baik dalam penyelenggaraan Negara maupun pemerintahan. Kekuasaan
pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal, yaitu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
B.
Saran
Sudah
sepantasnya kita sebagai negara yang berdemokrasi bisa menghargai pendapat
orang lain. Kita sebagai warga Negara harus ikut menciptakan Negara yang
berdemokrasi. Dan sebagai warga Negara yang baik, seharusnya kita semua
menyikapi demokrasi ini dengan perbuatan yang positif, bukan menyikapinya
dengan cara anarkis, money politic dan tidak bertanggung jawab. Jadi, kita
harus meningkatkan kedewasaan dalam berpolitik, bertanggung jawab dan mematuhi
segala aturan yang ada pada kehidupan demokrasi. Dan kita berharap Indonesia
dapat menjadi Negara yang maju dan lebih baik lagi dalam segala hal.
DAFTAR
PUSTAKA
Zahraa02.blogspot.co.id/2012/05/makalah-demokrasi-teori-dan-praktek.html
Erwin,
Muhamad. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Bandung: Refika Aditama
Ubaidillah,A.
2000. Pendidikan Kewargaan. Jakarta: IAIN Jakarta Press.
Komentar
Posting Komentar